"Plato tidak akan datang pada kita, jika saja tidak ada orang yang dengan ikhlas menggoreskan penanya pada ruas-ruas sejarah"

Senin, 28 Januari 2008

tips

Menulis Feature Di Dunia Venus


Tulisan yang bagus biasanya bernada seperti mengobrol. Tentu saja, untuk beberapa topik, gaya yang lebih formal pasti lebih sesuai--tetapi jangan salah menganggap bahwa bersikap serius itu sama dengan bersikap membosankan.(COLINROSE)


"Bumi kini telah menjadi Venus," kata pakar marketing, Hermawan Kartajaya, dalam karyanya yang menerobos, Marketing in Venus. "Dunia Venus adalah dunia yang lebih emosional dan interaktif. Di dunia itu, EQ lebih unggul ketimbang IQ atau--dalam bahasa yang lain--feel lebih penting dari think." Oleh sebab itu, lanjut Hermawan, "Untuk memenangkan persaingan di Venus, Anda harus lebih banyak bermain di context (how to offer). Content--what to offer--yang bagus adalah suatu keharusan. Namun, content yang bagus tidaklah cukup. Content hanyalah 'tiket' untuk masuk ke arena persaingan, bukan untuk memenangkan persaingan. Context-lah 'tiket' Anda untuk memenangkan persaingan di Venus."

Saya berpendapat dari sejak dahulu, apa yang dirumuskan sebagai jenis tulisan yang dapat dikategorikan sebagai feature (karangan khas) tidaklah berubah. Merujuk ke pandangan Hermawan, content yang dikandung feature adalah tetap. Menurut Drs. Andi Baso Mappatoto, M.A.--pernah menjabat Ketua Dewan Direktur Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA)--dalam bukunya, Teknik Penulisan Feature (Karangan Khas), arti kata feature adalah "karangan lengkap nonfiksi bukan berita-lempang (straight news) dalam media massa yang tak tentu panjangnya, dipaparkan secara hidup sebagai pengungkapan daya kreativitas yang kadang-kadang menggunakan sentuhan subjektivitas pengarang terhadap peristiwa, situasi, aspek kehidupan dengan tekanan pada daya pikat manusiawi untuk mencapai tujuan memberitahu, menghibur, mendidik, dan meyakinkan pembaca".

Dalam kesempatan ini, saya tidak akan membahas content (what atau apanya) tulisan yang dapat digolongkan sebagai feature. Saya akan lebih menekankan pembahasan pada context (how atau cara), yaitu bagaimana seorang penulis dapat menciptakan feature yang menarik dan sesuai perkembangan zaman. Dalam bahasa Hermawan, saya ingin mengajak siapa saja untuk menulis feature yang dapat dinikmati masyarakat Venus dan tulisan tersebut benar-benar dapat "memenangkan" persaingan dalam merebut hati sebagian besar pembaca. "Memenangkan" di sini saya artikan sebagai sebuah kesuksesan yang dicapai sebuah tulisan feature dalam menginspirasi atau--dalam bahasa saya--menyentuh dan kemudian mampu "menggerakkan" pikiran pembacanya.

Untuk keperluan tersebut, saya menggunakan empat tulisan sebagai sumber rujukan dalam membahas context tulisan feature yang cocok untuk masyarakat Venus--sebuah masyarakat yang lebih menekankan sisi emosional ketimbang rasional. Keempat tulisan itu adalah, pertama, karya Ignas Kleden, "Esai: Godaan Subjektivitas"; kedua, karya Agus R. Sarjono, “Sebuah Bukan Esai tentang Esai� (kedua tulisan ini dimuat di majalah sastra Horison, edisi Januari 2004); ketiga, karya Mula Harahap, "Tentang Esai-Esai Pribadi" (saya peroleh dari sebuah milis di internet); dan keempat, karya Farid Gaban, "Kolom: Esai dengan Gaya" (pernah disampaikan di depan para editor Penerbit Mizan).


Feature yang Berbasiskan Esai?
Tentu saja
feature bukan esai, atau esai bukanlah feature. Kata Ignas Kleden, esai lahir karena keinginan berkata-kata, semacam obrolan dalam bentuk tulisan. Kalau obrolan adalah bentuk penuturan lisan, maka esai adalah perwujudannya dalam bentuk tulisan. "Sebuah esai, karena itu," tulis Ignas, "menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, dan daya tarik itu muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana.

"Apabila kita membaca esai Putu Wijaya, 'Meditasi di Madison', maka yang menarik di sana bukanlah lukisan pengarang tentang suasana di sebuah universitas Amerika tempat dia tinggal dan bekerja selama beberapa bulan. Yang membuat kita tercekam adalah cerita pengarang tentang dirinya sendiri. Kita turut merasakan betapa dia gugup melatih para mahasiswa Amerika agar dapat memainkan sebuah teaternya berjudul 'Gerr'. Betapa pula dia kesulitan dan cemas--dengan bahasa Inggris yang masih terbatas--menjelaskan konsep teaternya dan berusaha melepaskan para mahasiswanya dari konsep teater barat, sebagaimana yang mereka pelajari dari kuliah dan latihan yang mereka peroleh sebelumnya."

Subjektivitas dalam mengutarakan gagasan adalah hal yang memberikan watak khas pada esai. "Apabila subjektivitas itu dikontrol dan ditekan sampai minimal, maka yang kita dapati adalah tulisan ilmiah. Seperti kita tahu, ilmu pengetahuan menuntut lukisan dan uraian dapat diusahakan sedekat mungkin dengan keadaan suatu objek yang diteliti atau yang sedang diamati, Subjektivitas yang terlalu banyak dianggap mengganggu dan merendahkan mutu sebuah tulisan. Esai, sebaliknya dari itu, justru menghidupkan subjektivitas," tulisan Ignas menegaskan.

Ada banyak jenis tulisan yang bagus di media massa, namun tulisan itu jarang dibaca oleh para pembacanya. Mengapa? "Hal ini karena banyak tulisan dalam rubrik opini, misalnya, yang memiliki kecenderungan bernada kering, tidak 'berjiwa'. Para penulis, lagi-lagi, kadang-kadang punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat dingin: objektif, berjarak, anti-humor, dan tanpa bumbu," tulis Farid Gaban. "Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir 'semua orang'. Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman, dan tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan."

Bagaimana agar sebuah tulisan dapat menarik perhatian, renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu)? "Kreativitas," jawab Farid Gaban pendek. Kreativitas? Ya. "Dalam era kebebasan seperti sekarang ini, seorang penulis dituntut memiliki kreativitas yang lebih tinggi untuk memikat para pembaca. Para pembaca, dewasa ini, memiliki demikian banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak hanya bersaing dengan tulisan lain di koran atau majalah lain, tetapi juga bersaing dengan berbagai kesibukan yang menyita waktu para pembaca: pekerjaan di kantor, menonton televisi, mendengar musik di radio, berselancar di internet, mengasuh anak, dan sebagainya."

Farid kemudian mengenalkan satu "genre" baru penulisan esai yang disebutnya sebagai "creative nonfiction", atau nonfiksi yang ditulis secara kreatif. "Dalam 'creative nonfiction', penulis esai mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti-klimaks, serta ironi) ke dalam nonfiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang kering dan berlagak objektif, 'creative nonfiction' juga memungkinkan penulis lebih menonjolkan subjektivitas serta keterlibatan terhadap tema yang ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subjektivitas lebih banyak, esai seperti ini juga umumnya menawarkan kekhasan gaya ('style') serta personalitas si penulis," demikian tulis Farid Gaban.

Langkah-Langkah menuju Penulisan
Feature yang "Menggugah"
Seperti tergambarkan dalam penjelasan Ignas dan Farid tentang bentuk tulisan esai di atas,
feature dapat ditulis secara lebih "menggugah" apabila si penulis dapat melakukan pergerakan secara tepat dari tulisan yang bersifat subjektif menuju tulisan yang bersifat objektif. Dalam bahasa akademis, feature yang "menggugah" adalah feature yang berada di antara tulisan yang benar-benar bebas dan tulisan yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Atau, mengikuti rumusan Edward de Bono, tulisan tersebut dapat dipenuhi dengan cara bergerak dari pemikiran vertikal menuju pemikiran lateral. Berikut ini usulan tiga langkah saya untuk menjadikan diri Anda sebagai penulis feature yang andal.

Pertama, ketika Anda ingin mengawali kegiatan menulis esai, cobalah menggunakan metode "mind mapping" (pemetaan pikiran). Metode ini, setidaknya, akan mendukung Anda dalam membuat jaringan fakta (bahan yang hendak diungkapkan dalam bentuk feature) secara detail dan terkuasai secara total. Apabila "peta pikiran" dapat dibuat, si penulis feature dapat memiliki keyakinan tinggi bahwa bahan-bahan yang dikumpulkan memang hampir mendekati lengkap dan tidak ada yang tertinggal. Dan untuk mengecek apakah bahan-bahan yang sudah dikumpulkan itu memang sangat lengkap (dan kemudian dapat benar-benar dikuasai), penggunaan metode "mind mapping" (Tony Buzan) atau "clustering" (Gabriele Rico) dapat sangat membantu.

Kedua, diri si penulis (terutama pengalaman yang sudah dimiliki si penulis) benar-benar connect dengan bahan-bahan yang telah dikumpulkan. Apabila ini dapat dilakukan, maka tulisan feature akan unik. Kata Viki King, "Anda sedang menulis feature yang tidak mungkin ditulis oleh orang lain. Sebuah kisah yang berkobar di dalam diri Anda adalah feature yang 'komersial'. Anda tidak menjadi penulis kelas dua di bawah siapa pun. Anda menjadi yang terbaik bagi diri Anda sendiri. Anda memiliki satu hal yang layak jual sebagai seorang penulis--sudut pandang Anda. Sudut pandang Anda adalah sebuah cara unik untuk melihat dunia berdasarkan seluruh pengalaman Anda dan bagaimana Anda merasakan dunia di seputar Anda."

Ketiga, awalilah menulis feature dengan memanfaatkan otak kanan. Menurut Roger Sperry, pemenang hadiah Nobel bidang kedokteran yang menemukan dua belahan otak, setiap orang punya otak kiri dan otak kanan yang berfungsi secara berbeda. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, urut, dan rasional. Belahan ini sangat teratur. Sementara itu, proses berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi. Dengan menggunakan otak kanan lebih dahulu, berarti bahan yang akan dialirkan menjadi lebih terbuka, bebas, dan tidak kaku. Baru setelah semua bahan dikeluarkan oleh otak kanan, gunakan otak kiri untuk menatanya.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan mampu "menggerakkan" pikiran Anda.[]

comment