"Plato tidak akan datang pada kita, jika saja tidak ada orang yang dengan ikhlas menggoreskan penanya pada ruas-ruas sejarah"

Selasa, 09 Desember 2008

artikel

Al-Quran Berjalan; Citra Manusia Demokratis
Oleh: Zainal Arifin Sandia

Pasca pertempuran Yamama Umar bin Khattab dengan berani dan penuh percaya diri melontrakan sebuah gagasan “gila” kepada Abu Bakar, khalifah pada saat itu, untuk mengumpulkan al-Quran karena banyak penghapal al-Quran yang gugur dalam pertempuran itu. Meski ragu lantara sadar bahwa dirinya tidak menerima otoritas dari Nabi Muhammad -- selanjutnya digunakan terma Nabi -- untuk melakukan kerja cerdas mengumpulkan Alquran, Abu Bakar akhirnya menanggalkan keraguannya dan menunjuk Zayd bin Tsabit sebagai pimpinan proyek kebajikan tersebut. Gagasan “gila” Umar ini sekaligus menjadi starting line firstly tradisi baru dalam proses “pengawalan” al-Quran yang dalam perkembangan studi kitab agama-agama dikenal terjaga orisinalitasnya.
“Kegilaan” gagasan dalam banyak kasus sejarah panjang peradaban umat manusia memang cenderung sarat kontroversial, berdarah-darah (culutular bleeding, social bleeding dan political bleeding) dan bahkan taruh-taruhan nyawa. Namun “kegilaan” gagasan itu jualah yang menjadi trigger pengerak roda perubahan-perubahan dahsyat dan kemajuan peradaban umat manusia di muka bumi. Para Nabi dan Rasul (“manusia-manusia suci”) pembawa misi Tuhan, Socrates, Umar dan Galileo dan Copernicus misalnya, adalah beberapa contoh figur dari sederet manusia penebar pesan-pesan dan gagasan-gagasan “gila”, tidak populer dan tidak taken for granted pada masnya.
Gagasan “gila” Umar untuk “mengawal” al-Quran dalam perkembangannya terus mengalami “metamorfosis”; dari bentuk mushaf (lembaran-lembaran tulisan tangan), dicetak dan dibukukan (seperti yang ada hari ini) dan sampai dalam kemasan high-tech atau software. Meski begitu, hari ini masih juga dijumpai bentuk-bentuk “pengawalan” al-Quran model pra-mushaf seperti yang terjadi di beberapa pesantren hapal al-Quran, lembaga pendidikan hapal al-Quran dan momen-momen lomba hapal al-Quran. Bahkan, belakangan dengan kemasan yang agak berbeda “pengawalan” al-Quran hadir dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) baca dan tulis al-Quran seperti di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan dan Kota Solok Sumatera Barat, dan pada tes baca al-Quran terhadap 1.368 orang dalam proses seleksi calon anggota legislatif di Aceh.
Adalah sesuatu yang luar biasa karena varian bentuk “pengawalan” tersebut akhirnya berbuah dengan terjaganya orisanilitas al-Quran secara tektual (in verbatim). Dikatakan demikian karena proses “pengawalan” berlangsung melawati kurun masa yang tidak pendek, hampir 14 abad atau kurang lebih 1376 tahun, terhitung sejak periode kekhalifahan Abu Bakar (632 – 634) sampai sekarang (2008). Lebih luar biasa lagi karena proses “pengawalan” dilakukan melampaui fase-fase sejarah yang penuh dinamika, sarat gejolak dan pertarungan. Berbagai bentuk “pengawalan” inilah, boleh jadi, yang kemudian dilebeli sebagai menifestasi garansi Tuhan (QS. 15:9) dan atau juga hasil sikap responsif umat Islam terhadap warning Nabi tentang akan datangnya suatu masa dimana al-Quran tinggal nama doang (Hadits).
Lepas dari klaim keluarbiasaan itu, hal yang menarik dieksplorasi dari proses “pengawalan” berikut variannya itu adalah bagaimana memberi makna terhadap “pengawalan” sebagai manifestasi garansi Tuhan dan respon umat Islam terhadap warning Nabi. Berikut, bagaimana relasi keduanya berdaya mengkonstruk sebuah cara pandang sekaligus ekspresi beragama tertentu di kalangan umat Islam (isme-isme).
Paling tidak ada dua mainstream cara pandang yang bisa dirujuk guna menjelaskan makna “pengawalan” dimaksud. Pertama adalah cara pandang yang melihat “pangawalan” tersebut harus dilakukan dengan cara-cara seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di atas; menuliskan, membukukan dan mengemasnya dalam berbagai macam bentuk software recorder. Dan kedua adalah cara pandang yang melihat “pengawalan” sebagai bentuk transformasi dari cara pandang yang pertama. Jika cara pandang pertama cenderung hanya berusaha menjaga orisinalitas teks al-Quran. Maka, cara pandang kedua mencoba “mendekatkan” al-Quran pada kenyataan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan. Jika cara pandang pertama cenderung “mengkalkulatori” penggandaan pahala dari setiap huruf atau ayat dari al-Quran bagi pembacanya (individual oriented), maka cara pandang kedua lebih mempersoalkan dimensi fungsional al-Quran bagi kehidupan bersama (individual plus social oriented).
Cara pandang pertama adalah jelas positif (untuk menjaga orisinalitas teks alquran), meski Taufiq Adnan Amal dalam bukunya Rekonstruksi Sejarah al-Quran, menunjuk begitu banyak klaim dalil atau sumber rujukan teologisnya yang masih sangat debatable. Oleh karenanya, dengan tetap mengapresiasi cara pandang pertama, tulisan ini lebih fokus pada cara pandang kedua.
Dalam khazanah literatur Islam budi pekerti Nabi digambarkan sebagai al-Quran yang berjalan (Hadits). Penggambaran ini, secara sederhana, bisa dimengerti sebagai sebuah ekspresi betapa Nabi sesungguhnya telah melewati sebuah proses transformasi diri, yaitu mentransformasikan -- atau meminjam istilah Petter L. Berger, melakukan eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi -- teks-teks al-Quran ke dalam pola berpikir, bersikap dan bertindaknya. Ini berarti al-Quran tidak cukup sekedar diimani sebagai “penampakan” warisan teks-teks berkualitas aksioma yang orisinaitasnya dijaga (QS. 2:2) dalam senandung memori yang menggetarkan iman (QS. 8:2), tapi sekaligus juga harus diajak ke wilayah-wilayah praksis-fungsional guna menjawab inti berbagai persoalan umat manusia hari ini, yaitu ketidakadilan (keadaban) dan kebutuhan kesejahteraan (peradaban).
Misi “pembumian” Nabi oleh Tuhan adalah misi keadaban atau penegakan keadilan; perbaikan moral atau al-akhlaq al-karimah dan misi peradaban atau kebutuhan kesejahteraan; pembangunan tata dunia baru atau baldatun thayyibatun warabun ghafur. Dan misi ini berhasil diembannya. Bahkan, Robert N. Bella menggambarkan keberhasilan tersebut dalam bukunya Beyond Belief sebagai sebuah capaian (keadaban dan peradaban, pen.) yang terlalu moderen sehingga melampaui zamannya. Keberhasilan misi Nabi yang dimaksudkan Bella adalah apa yang menjadi misi demokrasi sebagai tujuan hari ini, yaitu penegakkan keadilan dan pemenuhan kebutuhan kesejahteraan.
Keberhasilan Nabi jelas merupakan sebuah cermin pembelajaran bahwa al-Quran sebagai teks seyogianya tertransformasikan dan melembaga ke dalam fakultas mentalitas manusia untuk menjadi sosok al-Quran yang berjalan atau citra manusia demokratis. Fenomena Nabi adalah fenomena sesosok pribadi manusia biasa (yang diberi tugas menyampaikan wahyu) dengan protopite anutan publik atau uswatun hasanah (hadits). Itu berarti, siapa saja; siapapun dia dan apapun identitasnya; agama, suku, etnik, budaya dan lain sebagainya, tanpa terkecuali, bisa menjadi pribadi dengan kualifikasi kualitas al-Quran yang berjalan. Persoalannya kemudian adalah bagaiman proses transformasi itu bisa dilakukan untuk mencapai kualitas manusia sebagai al-Quran yang berjalan atau citra manusia demokratis?
Paling tidak, jika dielaborasi, maka ada empat keutamaan pada diri Nabi sehingga kepribadiaanya diidealisasikan sebagai al-Quran yang berjalan. Keempat keutamaan dimaksud dalam teori kepribadian dikenal dengan istilah hallmark of personality (kepribadian berstempel emas). Pertama adalah intergrity; punya kedirian dan mempertaruhkan harga diri untuk menegakkan kebenaran. Kedua adalah responsibility; kemampuan mengambil tanggung jawab (bukan sikap reaktif) dan tidak lari dari tanggung jawab. Ketiga adalah forgiveness; kemampuan memafkan diri dan memberi maaf kepada orang lain. Dan keempat adalah compassion; kemampuan menciptakan rasa nyaman dan membawa kedamaian.
Ramadhan mungkin relatif cukup menstimulasi kebanyakan orang untuk “mengkalkulatori” tiap huruf dan penggalan ayat dari al-Quran sehingga berbanding lurus dengan lipatan-lipatan pahala yang diperoleh di tiap saat membacanya. Sikap beragama ‘ala positivisme atau beragama secara kuantitatif ini jelas tidak salah, tapi adalah lebih baik jika ajakan dari tiap huruf dan penggalan ayat tersebut bisa ditransformasikan untuk membentuk sesosok pribadi dengan kualifikasi kualitas al-Quran yang berjalan atau memiliki kualitas citra manusia demokratis, yaitu manusia yang memperjuangkan tegaknya keadilan (keadaban) dan pemenuhan kebutuhan kesejahteraan (peradaban).

Penulis:
Activist Forum Dialog (Forlog) Antarkita Sulawesi Selatan
Email: nalowsky@yahoo.com.hk

Pagi-Pagi Duka

Pagi itu, langit tidak memberi tanda bahwa akan turun hujan. Sesaat sebelum rintik dari langit itu turun, tiga orang berseragam polisi datang mengetuk rumah. Mereka datang membawa sebuah surat resmi dari kepolisian. Di bawah lambang serupa sayap, tertulis pemberitahuan hasil penyelidikan, dibaliknya ada lagi selembar kertas. Hasil resmi otopsi rumah sakit.
Dengan nada datar, seorang di antaranya yang memiliki badan paling tinggi dan tegap meminta izin masuk dan duduk berhadapan denganku. Aku tak tahu maksudnya ketika mereka datang membawa surat tersebut. Seingatku, pernah sekali orang dari kepolisian membawa surat serupa, tiga tahun yang lalu. Surat dari malaikat maut yang mengabarkan putraku ditemukan tewas di kebun tebu desa tetangga. Anak sulung kami saat itu memang menghilang sekitar tiga bulanan, dan hasil test DNA suamiku menyatakan mayat tanpa nama yang ditemukan itu adalah putra kami.
Kembali kucermati surat yang kini ada di tanganku. Surat yang sama tertera nama putraku, tapi tanggal otopsi jelas berbeda. Masih lekat di ingatanku surat sebelumnya tertanggal 28 Agustus tiga tahun silam. Surat kali ini jelas tertera tanggal, bulan dan tahun yang berbeda, waktu yang hanya terpaut lima hari dari sekarang. Ketiga laki-laki itu masih terdiam. Aku tersenyum kecut menatap ketiganya.
“Bapak pasti salah,”
“Itu yang ingin kami cari tahu ke ibu,”
“Anak kami sudah meninggal tiga tahun yang lalu, itupun melalui surat yang sama kami terima,”
“Hasil DNA dari mayat yang ditemukan di belakang rumah penjagal itu sesuai dengan DNA suami ibu tiga tahun yang lalu. Tersangka juga mengaku membunuh dan menanam mayat tersebut tiga tahun yang lalu, tepat seperti laporan kehilangan ibu di tahun yang sama,”
Aku membatu. Dinding di ruang tamu seketika mengecil, semakin kecil sehingga menghimpit tubuhku. Aku menjerit memanggil suamiku, sesaat sebelum dunia menghilang dari pandanganku dan aku tak tau apa-apa lagi.
***
Aku terbangun dengan suamiku di sampingku. Ia duduk di pinggir ranjang menatapku cemas. Matanya merah dan sembab. Tanganya meraih pundakku, membangunkanku bersandar di pembaringan sebelum ia memelukku. Begitu kuat hingga dadaku sesak. Pundaknya bergetaar kuat dan isak tangisnya membasahi pundak belakangku. Sesekali air matanya menetes di leherku, mengalir dingin dan beku hingga punggung. Aku menggigil.
“Mayat di kebun tebu itu,…anak kita bu, anak kita meninggal,” kata-kata itu berulang di telingaku. Berat dan tersendat dikerongkongan lelaki yang sudah tiga puluh tahun menikahiku.
Aku membeku, saat terbayang tubuh dingin yang sudah membengkak itu di ingatanku. Wajahnya tak lagi kukenali. Ia terbaring kaku membujur di rerimbunan pohon tebu dengan tunasnya yang memerah, semerah darah di wajah anakku yang tersayat. Terlalu banyak sayatan hingga aku, ibu yang melahirkannya tak dapat mengenalinya.
Tanganku ragu meraih pundak suamiku yang masih gemetar, membalas pelukannya dengan menggigil. Tubuh kami saling bergetar, tak mampu memberi kekuatan agar tabah. Tangis kamipun meledak hingga orang-orang di sekitar kami harus memberi pelukan yang sama agar kami bisa lebih kuat. Kami tenggelam diantara orang-orang yang turut berduka.
Di atas jalanan tanah merah, aku mengikuti iring-iringan keranda putraku menuju pemakaman desa. Semua orang datang dengan kerudung dan pakaian hitam. Semua berduka atas putra kami. Aku kosong menatap keranda di hadapanku. Dulu dia takut gelap, kadang memintaku atau ayahnya menemainya sebelum tidur. Kali ini kau harus menghadapi gelap itu sendiri.
Aku ingat, pagi itu tiga orang dari kepolisian memintaku ke ibu kota melakukan tes DNA untuk memastikan mayat di kebun tebu itu adalah kau. Aku begitu takut hingga tak ingin tahu itu kau atau bukan. Sebab bagiku lebih baik membayangkan kau sedang di jalanan berusaha untuk tetap hidup atau mabuk bersama teman-temanmu dari pada harus menerima kenyataan kau terbaring kaku berhari-hari di bawah rimbunan pohon tebu sesaat setelah ajal menjemputmu. Tapi ayahmu berkata lain, laki-laki selalu saja dipenuhi rasa ingin tahu. Aku terlalu takut hingga ayahmu memutuskan pergi sendiri untuk melakukan tes tersebut. Lihatlah hasil dari semua itu anakku, kita dipertemukan dalam upacara sakral pemakamanmu. Pembunuhmu tidak juga ditemukan tapi kita telah dipertemukan dalam kelam aura kematian.
Keranda itu diturunkan tepat di liang pembaringan terakhirmu. Aku masih kosong manatap tubuh dibalut kain putih itu perlahan di turunkan. Untuk terakhir kalinya, penutup wajahmu di buka untuk mencium tanah lembab pemakaman. Dapatkah kau mencium aromanya, anakku? Lembab dan anyir, kurasa semua tanah pekuburan seperti itu, sebab setiap hari ia dibasahi air mata duka orang-orang yang berkabung. Rasanya asin dan pedih seperti tangis.
Papan itu telah ditutupkan di atasmu. Tanah perlahan dijatuhkan, tabahlah anakku ruangmu akan semakin gelap. Seraya liang itu berubah menjadi gundukan di depan nisan bertuliskan namamu, dunia di hadapanku mulai menghilang perlahan. Rasannya semakin gelap hingga semua lenyap dan sepi. Akupun terjatuh tanpa sempat menaburkan bunga di gundukan tanah berisi jasadmu.
***
Aku terbangun dengan suamiku duduk di sampingku. Matanya merah dan sembab. Ragu ia menangkap amarah di mataku. Nafasku terpenggal-penggal. Tanpa dibantunya aku bangkit dan duduk di pembaringan. Tak seorangpun berada di kamar selain kami berdua. Pintu kamar tertutup rapat. Kali ini lelaki itu tidak memelukku seperti yang dia lakukan tiga tahun yang lalu. Ia bahkan tidak berani menatapku.
“Yang mana diantara kedua mayat itu anak kita, yah?’, ada sesuatu di kerongkonganku yang menggondok. Suaraku tertahan seolah ada kerikil yang tumbuh di leherku.
Lelaki itu terdiam. Kedua tangannya dia silangkan di dada, seperti memeluk dirinya sendiri. Dia menggigil, entah dingin dari mana ia dapat, tubuhnya bergetar.
“Tak ada yang tahu sampai ibu sendiri yang melakukan tes DNA…”, kata-kata lelaki yang menyematkan cinci kawin di jari manisku itu terpotong. Ada duka yang rasanya ingin ia bagi bersamaku. Sama seperti tiga tahun yang lalu. Tapi tidak, bagiku tak ada duka yang sama yang berulang.
“Selama ini kau berbohong padaku…bagaimana mungkin aku berduka untuk anak yang belum pasti milikku!!! Kau selalu saja mengelabuiku…kau memaksaku menangisi anak pelacur yang kau hamili..”, aku menjerit, pedih yang terasa semakin besar saja setiap menatap lelaki di hadapanku. Seluruh tubuhku berguncang hebat tanganku hanya mampu memukul-mukul pundaknya tanpa ia merasa sakit. Tenagaku hilang, mengutuki semua yang terjadi. Aku rapuh dalam isak tangis yang membuatnya semakin parah.
“Berhentilah mengutuk…ini karma untuk kita, bu. Kau kehilangan satu anakmu karena nyawa anak lain yang ingin kau singkirkan, tapi aku…aku kehilangan keduanya, bu…aku kehilangan keduanya…”, Kata-kata itu terus berulang di telingaku. Aku tak kuat menutupinya dengan tangis dan jeritan.
***
Pagi itu, gerimis mengguyur perkampungan. Sejak semalam angin memang bertiup kencang. Kupikir akan turun hujan deras namun hingga pagi hanya rintik kecil air jatuh dari langit. Aku menatap tajam ke arah perempuan di hadapanku. Perempuan itu tertunduk menatap perutnya yang menyembul dari dalam daster, sesekali tangannya mengelus pelan perut tersebut. Sama seperti yang bisa ku lakukan sejak kehamilanku memasuki usia ke empat.
Di antara kami, suamiku duduk diam dengan kedua tangan di atas paha. Jari-jarinya saling menyilang satu sama lain. Sesekali kedua ibu jarinya saling menggesek. Ia tampak gugup dan ragu memulai pembicaraan di antara kami bertiga. Sesekali ia menghapus peluh di keningnya.
“Isinya sepuluh juta, cukup untuk mengugurkan kandunganmu dan melupakan suamiku.”, kataku perlahan sambil mengusap perutku yang juga menyembul di balik sarung batik yang melingkar menutupinya. Kusodorkan sebuah amplop coklat di hadapan perempuan yang tidak ingin kuketahui namanya, sambil menatap wajah suamiku dan perempuan itu secara bergantian.
Perempuan itu meraih amplop di hadapannya. Tanpa membuka amplop tersebut langsung di masukkan ke dalam tas kecil di sampingnya. Ia beralih menatap suamiku. Ada rasa yang tidak dapat ku ungkap diantara keduanya, tapi aku terbiasa mengacuhkan dan melupakan apa yang telah dilakukan lelaki yang juga ayah dari anak yang kukandung.
Perempuan jalang yang entah berapa kali telah ditiduri suamiku itu telah pergi, tapi kebekuan antara kami belum juga cair. Hingga putra kami lahir tak pernah sekalipun kudengar kabar tentang perempuan itu atau perempuan-perempuan lain yang sempat hinggap dipelukan suamiku. Tidak pernah…

comment