"Plato tidak akan datang pada kita, jika saja tidak ada orang yang dengan ikhlas menggoreskan penanya pada ruas-ruas sejarah"

Selasa, 09 Desember 2008

Pagi-Pagi Duka

Pagi itu, langit tidak memberi tanda bahwa akan turun hujan. Sesaat sebelum rintik dari langit itu turun, tiga orang berseragam polisi datang mengetuk rumah. Mereka datang membawa sebuah surat resmi dari kepolisian. Di bawah lambang serupa sayap, tertulis pemberitahuan hasil penyelidikan, dibaliknya ada lagi selembar kertas. Hasil resmi otopsi rumah sakit.
Dengan nada datar, seorang di antaranya yang memiliki badan paling tinggi dan tegap meminta izin masuk dan duduk berhadapan denganku. Aku tak tahu maksudnya ketika mereka datang membawa surat tersebut. Seingatku, pernah sekali orang dari kepolisian membawa surat serupa, tiga tahun yang lalu. Surat dari malaikat maut yang mengabarkan putraku ditemukan tewas di kebun tebu desa tetangga. Anak sulung kami saat itu memang menghilang sekitar tiga bulanan, dan hasil test DNA suamiku menyatakan mayat tanpa nama yang ditemukan itu adalah putra kami.
Kembali kucermati surat yang kini ada di tanganku. Surat yang sama tertera nama putraku, tapi tanggal otopsi jelas berbeda. Masih lekat di ingatanku surat sebelumnya tertanggal 28 Agustus tiga tahun silam. Surat kali ini jelas tertera tanggal, bulan dan tahun yang berbeda, waktu yang hanya terpaut lima hari dari sekarang. Ketiga laki-laki itu masih terdiam. Aku tersenyum kecut menatap ketiganya.
“Bapak pasti salah,”
“Itu yang ingin kami cari tahu ke ibu,”
“Anak kami sudah meninggal tiga tahun yang lalu, itupun melalui surat yang sama kami terima,”
“Hasil DNA dari mayat yang ditemukan di belakang rumah penjagal itu sesuai dengan DNA suami ibu tiga tahun yang lalu. Tersangka juga mengaku membunuh dan menanam mayat tersebut tiga tahun yang lalu, tepat seperti laporan kehilangan ibu di tahun yang sama,”
Aku membatu. Dinding di ruang tamu seketika mengecil, semakin kecil sehingga menghimpit tubuhku. Aku menjerit memanggil suamiku, sesaat sebelum dunia menghilang dari pandanganku dan aku tak tau apa-apa lagi.
***
Aku terbangun dengan suamiku di sampingku. Ia duduk di pinggir ranjang menatapku cemas. Matanya merah dan sembab. Tanganya meraih pundakku, membangunkanku bersandar di pembaringan sebelum ia memelukku. Begitu kuat hingga dadaku sesak. Pundaknya bergetaar kuat dan isak tangisnya membasahi pundak belakangku. Sesekali air matanya menetes di leherku, mengalir dingin dan beku hingga punggung. Aku menggigil.
“Mayat di kebun tebu itu,…anak kita bu, anak kita meninggal,” kata-kata itu berulang di telingaku. Berat dan tersendat dikerongkongan lelaki yang sudah tiga puluh tahun menikahiku.
Aku membeku, saat terbayang tubuh dingin yang sudah membengkak itu di ingatanku. Wajahnya tak lagi kukenali. Ia terbaring kaku membujur di rerimbunan pohon tebu dengan tunasnya yang memerah, semerah darah di wajah anakku yang tersayat. Terlalu banyak sayatan hingga aku, ibu yang melahirkannya tak dapat mengenalinya.
Tanganku ragu meraih pundak suamiku yang masih gemetar, membalas pelukannya dengan menggigil. Tubuh kami saling bergetar, tak mampu memberi kekuatan agar tabah. Tangis kamipun meledak hingga orang-orang di sekitar kami harus memberi pelukan yang sama agar kami bisa lebih kuat. Kami tenggelam diantara orang-orang yang turut berduka.
Di atas jalanan tanah merah, aku mengikuti iring-iringan keranda putraku menuju pemakaman desa. Semua orang datang dengan kerudung dan pakaian hitam. Semua berduka atas putra kami. Aku kosong menatap keranda di hadapanku. Dulu dia takut gelap, kadang memintaku atau ayahnya menemainya sebelum tidur. Kali ini kau harus menghadapi gelap itu sendiri.
Aku ingat, pagi itu tiga orang dari kepolisian memintaku ke ibu kota melakukan tes DNA untuk memastikan mayat di kebun tebu itu adalah kau. Aku begitu takut hingga tak ingin tahu itu kau atau bukan. Sebab bagiku lebih baik membayangkan kau sedang di jalanan berusaha untuk tetap hidup atau mabuk bersama teman-temanmu dari pada harus menerima kenyataan kau terbaring kaku berhari-hari di bawah rimbunan pohon tebu sesaat setelah ajal menjemputmu. Tapi ayahmu berkata lain, laki-laki selalu saja dipenuhi rasa ingin tahu. Aku terlalu takut hingga ayahmu memutuskan pergi sendiri untuk melakukan tes tersebut. Lihatlah hasil dari semua itu anakku, kita dipertemukan dalam upacara sakral pemakamanmu. Pembunuhmu tidak juga ditemukan tapi kita telah dipertemukan dalam kelam aura kematian.
Keranda itu diturunkan tepat di liang pembaringan terakhirmu. Aku masih kosong manatap tubuh dibalut kain putih itu perlahan di turunkan. Untuk terakhir kalinya, penutup wajahmu di buka untuk mencium tanah lembab pemakaman. Dapatkah kau mencium aromanya, anakku? Lembab dan anyir, kurasa semua tanah pekuburan seperti itu, sebab setiap hari ia dibasahi air mata duka orang-orang yang berkabung. Rasanya asin dan pedih seperti tangis.
Papan itu telah ditutupkan di atasmu. Tanah perlahan dijatuhkan, tabahlah anakku ruangmu akan semakin gelap. Seraya liang itu berubah menjadi gundukan di depan nisan bertuliskan namamu, dunia di hadapanku mulai menghilang perlahan. Rasannya semakin gelap hingga semua lenyap dan sepi. Akupun terjatuh tanpa sempat menaburkan bunga di gundukan tanah berisi jasadmu.
***
Aku terbangun dengan suamiku duduk di sampingku. Matanya merah dan sembab. Ragu ia menangkap amarah di mataku. Nafasku terpenggal-penggal. Tanpa dibantunya aku bangkit dan duduk di pembaringan. Tak seorangpun berada di kamar selain kami berdua. Pintu kamar tertutup rapat. Kali ini lelaki itu tidak memelukku seperti yang dia lakukan tiga tahun yang lalu. Ia bahkan tidak berani menatapku.
“Yang mana diantara kedua mayat itu anak kita, yah?’, ada sesuatu di kerongkonganku yang menggondok. Suaraku tertahan seolah ada kerikil yang tumbuh di leherku.
Lelaki itu terdiam. Kedua tangannya dia silangkan di dada, seperti memeluk dirinya sendiri. Dia menggigil, entah dingin dari mana ia dapat, tubuhnya bergetar.
“Tak ada yang tahu sampai ibu sendiri yang melakukan tes DNA…”, kata-kata lelaki yang menyematkan cinci kawin di jari manisku itu terpotong. Ada duka yang rasanya ingin ia bagi bersamaku. Sama seperti tiga tahun yang lalu. Tapi tidak, bagiku tak ada duka yang sama yang berulang.
“Selama ini kau berbohong padaku…bagaimana mungkin aku berduka untuk anak yang belum pasti milikku!!! Kau selalu saja mengelabuiku…kau memaksaku menangisi anak pelacur yang kau hamili..”, aku menjerit, pedih yang terasa semakin besar saja setiap menatap lelaki di hadapanku. Seluruh tubuhku berguncang hebat tanganku hanya mampu memukul-mukul pundaknya tanpa ia merasa sakit. Tenagaku hilang, mengutuki semua yang terjadi. Aku rapuh dalam isak tangis yang membuatnya semakin parah.
“Berhentilah mengutuk…ini karma untuk kita, bu. Kau kehilangan satu anakmu karena nyawa anak lain yang ingin kau singkirkan, tapi aku…aku kehilangan keduanya, bu…aku kehilangan keduanya…”, Kata-kata itu terus berulang di telingaku. Aku tak kuat menutupinya dengan tangis dan jeritan.
***
Pagi itu, gerimis mengguyur perkampungan. Sejak semalam angin memang bertiup kencang. Kupikir akan turun hujan deras namun hingga pagi hanya rintik kecil air jatuh dari langit. Aku menatap tajam ke arah perempuan di hadapanku. Perempuan itu tertunduk menatap perutnya yang menyembul dari dalam daster, sesekali tangannya mengelus pelan perut tersebut. Sama seperti yang bisa ku lakukan sejak kehamilanku memasuki usia ke empat.
Di antara kami, suamiku duduk diam dengan kedua tangan di atas paha. Jari-jarinya saling menyilang satu sama lain. Sesekali kedua ibu jarinya saling menggesek. Ia tampak gugup dan ragu memulai pembicaraan di antara kami bertiga. Sesekali ia menghapus peluh di keningnya.
“Isinya sepuluh juta, cukup untuk mengugurkan kandunganmu dan melupakan suamiku.”, kataku perlahan sambil mengusap perutku yang juga menyembul di balik sarung batik yang melingkar menutupinya. Kusodorkan sebuah amplop coklat di hadapan perempuan yang tidak ingin kuketahui namanya, sambil menatap wajah suamiku dan perempuan itu secara bergantian.
Perempuan itu meraih amplop di hadapannya. Tanpa membuka amplop tersebut langsung di masukkan ke dalam tas kecil di sampingnya. Ia beralih menatap suamiku. Ada rasa yang tidak dapat ku ungkap diantara keduanya, tapi aku terbiasa mengacuhkan dan melupakan apa yang telah dilakukan lelaki yang juga ayah dari anak yang kukandung.
Perempuan jalang yang entah berapa kali telah ditiduri suamiku itu telah pergi, tapi kebekuan antara kami belum juga cair. Hingga putra kami lahir tak pernah sekalipun kudengar kabar tentang perempuan itu atau perempuan-perempuan lain yang sempat hinggap dipelukan suamiku. Tidak pernah…

Tidak ada komentar:

comment