"Plato tidak akan datang pada kita, jika saja tidak ada orang yang dengan ikhlas menggoreskan penanya pada ruas-ruas sejarah"

Selasa, 09 Desember 2008

artikel

Al-Quran Berjalan; Citra Manusia Demokratis
Oleh: Zainal Arifin Sandia

Pasca pertempuran Yamama Umar bin Khattab dengan berani dan penuh percaya diri melontrakan sebuah gagasan “gila” kepada Abu Bakar, khalifah pada saat itu, untuk mengumpulkan al-Quran karena banyak penghapal al-Quran yang gugur dalam pertempuran itu. Meski ragu lantara sadar bahwa dirinya tidak menerima otoritas dari Nabi Muhammad -- selanjutnya digunakan terma Nabi -- untuk melakukan kerja cerdas mengumpulkan Alquran, Abu Bakar akhirnya menanggalkan keraguannya dan menunjuk Zayd bin Tsabit sebagai pimpinan proyek kebajikan tersebut. Gagasan “gila” Umar ini sekaligus menjadi starting line firstly tradisi baru dalam proses “pengawalan” al-Quran yang dalam perkembangan studi kitab agama-agama dikenal terjaga orisinalitasnya.
“Kegilaan” gagasan dalam banyak kasus sejarah panjang peradaban umat manusia memang cenderung sarat kontroversial, berdarah-darah (culutular bleeding, social bleeding dan political bleeding) dan bahkan taruh-taruhan nyawa. Namun “kegilaan” gagasan itu jualah yang menjadi trigger pengerak roda perubahan-perubahan dahsyat dan kemajuan peradaban umat manusia di muka bumi. Para Nabi dan Rasul (“manusia-manusia suci”) pembawa misi Tuhan, Socrates, Umar dan Galileo dan Copernicus misalnya, adalah beberapa contoh figur dari sederet manusia penebar pesan-pesan dan gagasan-gagasan “gila”, tidak populer dan tidak taken for granted pada masnya.
Gagasan “gila” Umar untuk “mengawal” al-Quran dalam perkembangannya terus mengalami “metamorfosis”; dari bentuk mushaf (lembaran-lembaran tulisan tangan), dicetak dan dibukukan (seperti yang ada hari ini) dan sampai dalam kemasan high-tech atau software. Meski begitu, hari ini masih juga dijumpai bentuk-bentuk “pengawalan” al-Quran model pra-mushaf seperti yang terjadi di beberapa pesantren hapal al-Quran, lembaga pendidikan hapal al-Quran dan momen-momen lomba hapal al-Quran. Bahkan, belakangan dengan kemasan yang agak berbeda “pengawalan” al-Quran hadir dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) baca dan tulis al-Quran seperti di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan dan Kota Solok Sumatera Barat, dan pada tes baca al-Quran terhadap 1.368 orang dalam proses seleksi calon anggota legislatif di Aceh.
Adalah sesuatu yang luar biasa karena varian bentuk “pengawalan” tersebut akhirnya berbuah dengan terjaganya orisanilitas al-Quran secara tektual (in verbatim). Dikatakan demikian karena proses “pengawalan” berlangsung melawati kurun masa yang tidak pendek, hampir 14 abad atau kurang lebih 1376 tahun, terhitung sejak periode kekhalifahan Abu Bakar (632 – 634) sampai sekarang (2008). Lebih luar biasa lagi karena proses “pengawalan” dilakukan melampaui fase-fase sejarah yang penuh dinamika, sarat gejolak dan pertarungan. Berbagai bentuk “pengawalan” inilah, boleh jadi, yang kemudian dilebeli sebagai menifestasi garansi Tuhan (QS. 15:9) dan atau juga hasil sikap responsif umat Islam terhadap warning Nabi tentang akan datangnya suatu masa dimana al-Quran tinggal nama doang (Hadits).
Lepas dari klaim keluarbiasaan itu, hal yang menarik dieksplorasi dari proses “pengawalan” berikut variannya itu adalah bagaimana memberi makna terhadap “pengawalan” sebagai manifestasi garansi Tuhan dan respon umat Islam terhadap warning Nabi. Berikut, bagaimana relasi keduanya berdaya mengkonstruk sebuah cara pandang sekaligus ekspresi beragama tertentu di kalangan umat Islam (isme-isme).
Paling tidak ada dua mainstream cara pandang yang bisa dirujuk guna menjelaskan makna “pengawalan” dimaksud. Pertama adalah cara pandang yang melihat “pangawalan” tersebut harus dilakukan dengan cara-cara seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di atas; menuliskan, membukukan dan mengemasnya dalam berbagai macam bentuk software recorder. Dan kedua adalah cara pandang yang melihat “pengawalan” sebagai bentuk transformasi dari cara pandang yang pertama. Jika cara pandang pertama cenderung hanya berusaha menjaga orisinalitas teks al-Quran. Maka, cara pandang kedua mencoba “mendekatkan” al-Quran pada kenyataan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan. Jika cara pandang pertama cenderung “mengkalkulatori” penggandaan pahala dari setiap huruf atau ayat dari al-Quran bagi pembacanya (individual oriented), maka cara pandang kedua lebih mempersoalkan dimensi fungsional al-Quran bagi kehidupan bersama (individual plus social oriented).
Cara pandang pertama adalah jelas positif (untuk menjaga orisinalitas teks alquran), meski Taufiq Adnan Amal dalam bukunya Rekonstruksi Sejarah al-Quran, menunjuk begitu banyak klaim dalil atau sumber rujukan teologisnya yang masih sangat debatable. Oleh karenanya, dengan tetap mengapresiasi cara pandang pertama, tulisan ini lebih fokus pada cara pandang kedua.
Dalam khazanah literatur Islam budi pekerti Nabi digambarkan sebagai al-Quran yang berjalan (Hadits). Penggambaran ini, secara sederhana, bisa dimengerti sebagai sebuah ekspresi betapa Nabi sesungguhnya telah melewati sebuah proses transformasi diri, yaitu mentransformasikan -- atau meminjam istilah Petter L. Berger, melakukan eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi -- teks-teks al-Quran ke dalam pola berpikir, bersikap dan bertindaknya. Ini berarti al-Quran tidak cukup sekedar diimani sebagai “penampakan” warisan teks-teks berkualitas aksioma yang orisinaitasnya dijaga (QS. 2:2) dalam senandung memori yang menggetarkan iman (QS. 8:2), tapi sekaligus juga harus diajak ke wilayah-wilayah praksis-fungsional guna menjawab inti berbagai persoalan umat manusia hari ini, yaitu ketidakadilan (keadaban) dan kebutuhan kesejahteraan (peradaban).
Misi “pembumian” Nabi oleh Tuhan adalah misi keadaban atau penegakan keadilan; perbaikan moral atau al-akhlaq al-karimah dan misi peradaban atau kebutuhan kesejahteraan; pembangunan tata dunia baru atau baldatun thayyibatun warabun ghafur. Dan misi ini berhasil diembannya. Bahkan, Robert N. Bella menggambarkan keberhasilan tersebut dalam bukunya Beyond Belief sebagai sebuah capaian (keadaban dan peradaban, pen.) yang terlalu moderen sehingga melampaui zamannya. Keberhasilan misi Nabi yang dimaksudkan Bella adalah apa yang menjadi misi demokrasi sebagai tujuan hari ini, yaitu penegakkan keadilan dan pemenuhan kebutuhan kesejahteraan.
Keberhasilan Nabi jelas merupakan sebuah cermin pembelajaran bahwa al-Quran sebagai teks seyogianya tertransformasikan dan melembaga ke dalam fakultas mentalitas manusia untuk menjadi sosok al-Quran yang berjalan atau citra manusia demokratis. Fenomena Nabi adalah fenomena sesosok pribadi manusia biasa (yang diberi tugas menyampaikan wahyu) dengan protopite anutan publik atau uswatun hasanah (hadits). Itu berarti, siapa saja; siapapun dia dan apapun identitasnya; agama, suku, etnik, budaya dan lain sebagainya, tanpa terkecuali, bisa menjadi pribadi dengan kualifikasi kualitas al-Quran yang berjalan. Persoalannya kemudian adalah bagaiman proses transformasi itu bisa dilakukan untuk mencapai kualitas manusia sebagai al-Quran yang berjalan atau citra manusia demokratis?
Paling tidak, jika dielaborasi, maka ada empat keutamaan pada diri Nabi sehingga kepribadiaanya diidealisasikan sebagai al-Quran yang berjalan. Keempat keutamaan dimaksud dalam teori kepribadian dikenal dengan istilah hallmark of personality (kepribadian berstempel emas). Pertama adalah intergrity; punya kedirian dan mempertaruhkan harga diri untuk menegakkan kebenaran. Kedua adalah responsibility; kemampuan mengambil tanggung jawab (bukan sikap reaktif) dan tidak lari dari tanggung jawab. Ketiga adalah forgiveness; kemampuan memafkan diri dan memberi maaf kepada orang lain. Dan keempat adalah compassion; kemampuan menciptakan rasa nyaman dan membawa kedamaian.
Ramadhan mungkin relatif cukup menstimulasi kebanyakan orang untuk “mengkalkulatori” tiap huruf dan penggalan ayat dari al-Quran sehingga berbanding lurus dengan lipatan-lipatan pahala yang diperoleh di tiap saat membacanya. Sikap beragama ‘ala positivisme atau beragama secara kuantitatif ini jelas tidak salah, tapi adalah lebih baik jika ajakan dari tiap huruf dan penggalan ayat tersebut bisa ditransformasikan untuk membentuk sesosok pribadi dengan kualifikasi kualitas al-Quran yang berjalan atau memiliki kualitas citra manusia demokratis, yaitu manusia yang memperjuangkan tegaknya keadilan (keadaban) dan pemenuhan kebutuhan kesejahteraan (peradaban).

Penulis:
Activist Forum Dialog (Forlog) Antarkita Sulawesi Selatan
Email: nalowsky@yahoo.com.hk

Pagi-Pagi Duka

Pagi itu, langit tidak memberi tanda bahwa akan turun hujan. Sesaat sebelum rintik dari langit itu turun, tiga orang berseragam polisi datang mengetuk rumah. Mereka datang membawa sebuah surat resmi dari kepolisian. Di bawah lambang serupa sayap, tertulis pemberitahuan hasil penyelidikan, dibaliknya ada lagi selembar kertas. Hasil resmi otopsi rumah sakit.
Dengan nada datar, seorang di antaranya yang memiliki badan paling tinggi dan tegap meminta izin masuk dan duduk berhadapan denganku. Aku tak tahu maksudnya ketika mereka datang membawa surat tersebut. Seingatku, pernah sekali orang dari kepolisian membawa surat serupa, tiga tahun yang lalu. Surat dari malaikat maut yang mengabarkan putraku ditemukan tewas di kebun tebu desa tetangga. Anak sulung kami saat itu memang menghilang sekitar tiga bulanan, dan hasil test DNA suamiku menyatakan mayat tanpa nama yang ditemukan itu adalah putra kami.
Kembali kucermati surat yang kini ada di tanganku. Surat yang sama tertera nama putraku, tapi tanggal otopsi jelas berbeda. Masih lekat di ingatanku surat sebelumnya tertanggal 28 Agustus tiga tahun silam. Surat kali ini jelas tertera tanggal, bulan dan tahun yang berbeda, waktu yang hanya terpaut lima hari dari sekarang. Ketiga laki-laki itu masih terdiam. Aku tersenyum kecut menatap ketiganya.
“Bapak pasti salah,”
“Itu yang ingin kami cari tahu ke ibu,”
“Anak kami sudah meninggal tiga tahun yang lalu, itupun melalui surat yang sama kami terima,”
“Hasil DNA dari mayat yang ditemukan di belakang rumah penjagal itu sesuai dengan DNA suami ibu tiga tahun yang lalu. Tersangka juga mengaku membunuh dan menanam mayat tersebut tiga tahun yang lalu, tepat seperti laporan kehilangan ibu di tahun yang sama,”
Aku membatu. Dinding di ruang tamu seketika mengecil, semakin kecil sehingga menghimpit tubuhku. Aku menjerit memanggil suamiku, sesaat sebelum dunia menghilang dari pandanganku dan aku tak tau apa-apa lagi.
***
Aku terbangun dengan suamiku di sampingku. Ia duduk di pinggir ranjang menatapku cemas. Matanya merah dan sembab. Tanganya meraih pundakku, membangunkanku bersandar di pembaringan sebelum ia memelukku. Begitu kuat hingga dadaku sesak. Pundaknya bergetaar kuat dan isak tangisnya membasahi pundak belakangku. Sesekali air matanya menetes di leherku, mengalir dingin dan beku hingga punggung. Aku menggigil.
“Mayat di kebun tebu itu,…anak kita bu, anak kita meninggal,” kata-kata itu berulang di telingaku. Berat dan tersendat dikerongkongan lelaki yang sudah tiga puluh tahun menikahiku.
Aku membeku, saat terbayang tubuh dingin yang sudah membengkak itu di ingatanku. Wajahnya tak lagi kukenali. Ia terbaring kaku membujur di rerimbunan pohon tebu dengan tunasnya yang memerah, semerah darah di wajah anakku yang tersayat. Terlalu banyak sayatan hingga aku, ibu yang melahirkannya tak dapat mengenalinya.
Tanganku ragu meraih pundak suamiku yang masih gemetar, membalas pelukannya dengan menggigil. Tubuh kami saling bergetar, tak mampu memberi kekuatan agar tabah. Tangis kamipun meledak hingga orang-orang di sekitar kami harus memberi pelukan yang sama agar kami bisa lebih kuat. Kami tenggelam diantara orang-orang yang turut berduka.
Di atas jalanan tanah merah, aku mengikuti iring-iringan keranda putraku menuju pemakaman desa. Semua orang datang dengan kerudung dan pakaian hitam. Semua berduka atas putra kami. Aku kosong menatap keranda di hadapanku. Dulu dia takut gelap, kadang memintaku atau ayahnya menemainya sebelum tidur. Kali ini kau harus menghadapi gelap itu sendiri.
Aku ingat, pagi itu tiga orang dari kepolisian memintaku ke ibu kota melakukan tes DNA untuk memastikan mayat di kebun tebu itu adalah kau. Aku begitu takut hingga tak ingin tahu itu kau atau bukan. Sebab bagiku lebih baik membayangkan kau sedang di jalanan berusaha untuk tetap hidup atau mabuk bersama teman-temanmu dari pada harus menerima kenyataan kau terbaring kaku berhari-hari di bawah rimbunan pohon tebu sesaat setelah ajal menjemputmu. Tapi ayahmu berkata lain, laki-laki selalu saja dipenuhi rasa ingin tahu. Aku terlalu takut hingga ayahmu memutuskan pergi sendiri untuk melakukan tes tersebut. Lihatlah hasil dari semua itu anakku, kita dipertemukan dalam upacara sakral pemakamanmu. Pembunuhmu tidak juga ditemukan tapi kita telah dipertemukan dalam kelam aura kematian.
Keranda itu diturunkan tepat di liang pembaringan terakhirmu. Aku masih kosong manatap tubuh dibalut kain putih itu perlahan di turunkan. Untuk terakhir kalinya, penutup wajahmu di buka untuk mencium tanah lembab pemakaman. Dapatkah kau mencium aromanya, anakku? Lembab dan anyir, kurasa semua tanah pekuburan seperti itu, sebab setiap hari ia dibasahi air mata duka orang-orang yang berkabung. Rasanya asin dan pedih seperti tangis.
Papan itu telah ditutupkan di atasmu. Tanah perlahan dijatuhkan, tabahlah anakku ruangmu akan semakin gelap. Seraya liang itu berubah menjadi gundukan di depan nisan bertuliskan namamu, dunia di hadapanku mulai menghilang perlahan. Rasannya semakin gelap hingga semua lenyap dan sepi. Akupun terjatuh tanpa sempat menaburkan bunga di gundukan tanah berisi jasadmu.
***
Aku terbangun dengan suamiku duduk di sampingku. Matanya merah dan sembab. Ragu ia menangkap amarah di mataku. Nafasku terpenggal-penggal. Tanpa dibantunya aku bangkit dan duduk di pembaringan. Tak seorangpun berada di kamar selain kami berdua. Pintu kamar tertutup rapat. Kali ini lelaki itu tidak memelukku seperti yang dia lakukan tiga tahun yang lalu. Ia bahkan tidak berani menatapku.
“Yang mana diantara kedua mayat itu anak kita, yah?’, ada sesuatu di kerongkonganku yang menggondok. Suaraku tertahan seolah ada kerikil yang tumbuh di leherku.
Lelaki itu terdiam. Kedua tangannya dia silangkan di dada, seperti memeluk dirinya sendiri. Dia menggigil, entah dingin dari mana ia dapat, tubuhnya bergetar.
“Tak ada yang tahu sampai ibu sendiri yang melakukan tes DNA…”, kata-kata lelaki yang menyematkan cinci kawin di jari manisku itu terpotong. Ada duka yang rasanya ingin ia bagi bersamaku. Sama seperti tiga tahun yang lalu. Tapi tidak, bagiku tak ada duka yang sama yang berulang.
“Selama ini kau berbohong padaku…bagaimana mungkin aku berduka untuk anak yang belum pasti milikku!!! Kau selalu saja mengelabuiku…kau memaksaku menangisi anak pelacur yang kau hamili..”, aku menjerit, pedih yang terasa semakin besar saja setiap menatap lelaki di hadapanku. Seluruh tubuhku berguncang hebat tanganku hanya mampu memukul-mukul pundaknya tanpa ia merasa sakit. Tenagaku hilang, mengutuki semua yang terjadi. Aku rapuh dalam isak tangis yang membuatnya semakin parah.
“Berhentilah mengutuk…ini karma untuk kita, bu. Kau kehilangan satu anakmu karena nyawa anak lain yang ingin kau singkirkan, tapi aku…aku kehilangan keduanya, bu…aku kehilangan keduanya…”, Kata-kata itu terus berulang di telingaku. Aku tak kuat menutupinya dengan tangis dan jeritan.
***
Pagi itu, gerimis mengguyur perkampungan. Sejak semalam angin memang bertiup kencang. Kupikir akan turun hujan deras namun hingga pagi hanya rintik kecil air jatuh dari langit. Aku menatap tajam ke arah perempuan di hadapanku. Perempuan itu tertunduk menatap perutnya yang menyembul dari dalam daster, sesekali tangannya mengelus pelan perut tersebut. Sama seperti yang bisa ku lakukan sejak kehamilanku memasuki usia ke empat.
Di antara kami, suamiku duduk diam dengan kedua tangan di atas paha. Jari-jarinya saling menyilang satu sama lain. Sesekali kedua ibu jarinya saling menggesek. Ia tampak gugup dan ragu memulai pembicaraan di antara kami bertiga. Sesekali ia menghapus peluh di keningnya.
“Isinya sepuluh juta, cukup untuk mengugurkan kandunganmu dan melupakan suamiku.”, kataku perlahan sambil mengusap perutku yang juga menyembul di balik sarung batik yang melingkar menutupinya. Kusodorkan sebuah amplop coklat di hadapan perempuan yang tidak ingin kuketahui namanya, sambil menatap wajah suamiku dan perempuan itu secara bergantian.
Perempuan itu meraih amplop di hadapannya. Tanpa membuka amplop tersebut langsung di masukkan ke dalam tas kecil di sampingnya. Ia beralih menatap suamiku. Ada rasa yang tidak dapat ku ungkap diantara keduanya, tapi aku terbiasa mengacuhkan dan melupakan apa yang telah dilakukan lelaki yang juga ayah dari anak yang kukandung.
Perempuan jalang yang entah berapa kali telah ditiduri suamiku itu telah pergi, tapi kebekuan antara kami belum juga cair. Hingga putra kami lahir tak pernah sekalipun kudengar kabar tentang perempuan itu atau perempuan-perempuan lain yang sempat hinggap dipelukan suamiku. Tidak pernah…

Senin, 17 Maret 2008

Lebih Jauh Tentang LAPMI Makassar

Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) merupakan salah satu bidang kekaryaan yang berada pada naungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lembaga ini intens bergerak pada bidang pers dan jurnalistik. Dikelola secara independent dan professional oleh kader HMI, serta dalam kinerja jurnalistik diikat kuat dengan etika jurnalisme umum. LAPMI sendiri memiliki struktur setingkat struktur yang dimiliki HMI, pada tingkat nasional terdapat Badan Koordinasi Nasional (BAKORNAS) LAPMI, pada tingkat cabang terdapat LAPMI cabang dan komisariat dengan LAPMI komisariat.

LAPMI HMI Cabang Makassar sendiri stelah vakum selama kurang lebih delapn tahun, medio 2000-2002 kembali diaktifkan dengan mengangkat A. Sukmono Kumba sebagai ketua. Sejak itu pula telah terjadi telah terjadi 5 kali pergantian (R.Mustakim, Sufly AF, Wahyu Hamdani, dan Fitriani Ilyas) masa jabatan hingga saat ini. Sejak kongres XXV dimakassar ditetapkan lembaga kekaryaan menjadi lembaga pengembangan profesi. Tujuannya agar para kader HMI menyadari peran penting profesionalisme dalam menjalankan roda organisasi.

LAPMI Makassar sendiri dalam kerja persnya telah mengeluarkan beberapa karya jurnalistik, baik berupa cetak maupun elektronik. Untuk media cetak LAPMI Makassar telah menerbitkan Esensi (media Ikhwanuna), sebuah majalah triwulan khusus membahas wacana intelektual keislaman yang berkembang di HMI (NDP) maupun di masyarakat pada umumnya. Hingga saat ini Esensi telah terbit sebanyak 18 edisi. kami juga sempat meluncurkan broadcasting studio (studio radio) YAKUSA pada 2002-2003, namun karena katerbatasan yang kami miliki baik pada segi pendanaan maupun sumber daya lainnya yang masih minim maka saat ini YAKUSA vakum dan belum dapat siar.

VISI
Master plan LAPMI Makassar pada periode kali ini mengangkat Re-branding HMI sebagai visi besarnya. Re-branding sendiri merupakan upaya merubah atau memberikan image baru kepada oraganisasi, tanpa mengganti hal-hal yang subtansial pada organisasi seperti ideologi. Bahkan, re-branding yang dimaksudkan adalah pengembalian dan pengenal pada khalayak luas terhadap hal-hal tersebut. Seperti yang kita sadari, keterpurukan HMI selama ini tidak terlepas dari opni negatif yang melekat padanya. Opini yang berkembang tersebut merupakan bentuk ketidaktahuan/salah pengertian orang-orang terhadap HMI. Baik secara internal dan eksternal organisasi. Dan sangat disayangkan, pengertahuan tersebut kebanyakan didapatkan dari kader-kader HMI sendiri baik berupa wacana (pembusukan karakter) maupun perilaku kader yang negatif dan ditangkap orang-orang diluar organisasi.

Pencapaian Visi ini tidak akan bisa terlepas dari peran-peran media dan kerja jurnalistik yang merupakan bidang yang dikembangkan LAPMI. karena tidak dapat dipungkiri salah satu sumber pengetahuan didapatkan melalui media jurnalistik baik cetak maupun elektronik. LAPMI HMI Cabang Makassar sejak awal menegaskan diri laboratorium ide, merupakan media yang sangat tepat menjalankan visi tersebut, namun tidak menafikkan lembaga profesi lainnya serta seluruh hirarki yang ada di HMI, karena brand merupakan image (gambaran) secara keseluruhan dari organisasi.

Sehingga salah satu yang menjadi faktor penting dari pencapaian Visi ini adalah keterlibatan semua pihak yang tergabung dalam organisasi dalam memberikan opini positif kepada masyarakat, dan terkhusus insan akademis kampus (mahasiswa, dosen dll). Opini positif yang dimaksud secara internal tentu saja tidak terlepas dari kualitas pengkaderan, intelektual, dan indepensi organisasi secara utuh. Ketiganya merupakan kultur yang mulai ditinggalkan kader. Namun perlu ditegaskan opini positif yang kami maksud bukan hanya monopoli citraan yang bagus semata sehingga tidak memperhitungkan proporsional fakta yang ada. Sebagai insan jurnalis, kader LAPMI dalam profesinya tetap terikat pada etika pers yang menjunjung tinggi perimbangan data.

MISI
Internal :
- Menciptakan insan jurnalis kampus yang independen dan profesional, dan siap menghadapi lingkungan kerja kelak.
- Menemukan regulasi pengkaderan yang tepat untuk LAPMI secara berjenjang
- Mengembangkan segala infrastuktur yang dimiliki LAPMI (YAKUSA FM, LAPMI grafika, Majalah ESENSI) sebagai investasi yang mampu menjadi penggerak organisasi secara independen.
Eksternal
- Menjadikan LAPMI sebagai lembaga pengendali opini HMI baik di dalam maupun di luar organisasi.
- Membangun jaringan pada lembaga-lembaga yang memiliki persamaan idealisme dan mampu menyokong tercapainya Visi besar LAPMI.

artikel

Pers Mahasiswa Tanpa Pembaca
Oleh: Anis K. Al-Asyari

Sebuah masa lalu yang renyah tentang Pers Mahasiswa (Persma) tak cukup untuk dilukiskan dalam sebuah tulisan singkat seperti ini. Menjelang reformasi 1998 kontribusi Persma sedikitnya telah mendorong bangkitnya kesadaran baru bagi mahasiswa: spirit perlawananan atas tirani.

Persma tidak hanya menjadi ruang kreatif untuk berimajinasi tapi juga untuk sebuah medan lahirnya dialektika berpikir serta mimpi-mimpi atas sebuah cita-cita peradaban bernama perubahan.

Tapi itulah kenangan manis yang hampir lenyap dalam kenyataan, kini! Banyak hal yang rasanya bergeser dari idelisme Persma dalam hal mewarnai iklim intelektual, gerakan dan mentalitas mahasiswa. Nyaris Persma tidak lebih sama dengan Pers umum yang kita tahu terjebak oleh selera publik—selera pasar—selera modal.


Ketersesatan
Realitas paling memprihatinkan adalah ruang kampus yang kehilangan jati diri dan kebermaknaan. Kampus sudah tidak lebih sama dengan ruang publik lainnya semisal pasar, tempat belanja, stadion sepak bola atau bahkan lokalisasi (prostitusi).

Kejahatan atas nama rasionalitas dan moralitas toh juga subur di ruang kampus justru lebih parah dari apa yang terjadi di ruang lain. Begitu sulitnya kita menemukan ruang kampus dengan populasi yang dihidupkan oleh iklim intelektual dan selera berpikir.

Kini, kampus hanya menjadi pabrik dimana ijazah diproduksi untuk sebuah mimpi-mimpi manis bernama masa depan (setiap individual) yang tidak lain adalah perubahan status sosial. Hampir setiap mahasiswa menghabiskan hari-harinya untuk segera menyelesaikan studi dan dengan begitu bisa bekerja dan hidup layak.

Tanpa berpikir tentang bagaimana keahlian dan kecerdasan yang dimilikinya setiap saat ratusan bahkan ribuan alumni kampus mengandalkan ijazahnya. Jika tidak, ramai-ramai dari mereka terpaksa menganggur dan ironinya mereka tidak bisa melakukan komunikasi yang konstruktif pada masyarakat.
Bagi sebagian besar mahasiswa di kampus-kampus yang kita sering temui hari ini, realitas sosial tidak lebih dari sebuah kodrat alamiah dimana mereka menikmatinya dalam kepasrahan yang indah. Cara pandang yang materialis kemudian menenggelamkan nalar mereka jauh-jauh dari persoalan-persoalan sosial dimana para mahasiswa semestinya membuka mata.
Ruang kampus telah melestarikan budaya materialisme dan individualitas. Bayangkan? Saat-saat tidak menyenangkan di ruang kelas yang sering kita jumpai; dosen yang mengajar dengan cara pandang yang amat keliru menempatkan mahasiswa sebagai komunitas lebih rendah darinya. Mahasiswa dianggap sebagai orang-orang yang tidak memiliki nalar yang baik, karena itu hanya menjadi pendengar yang baik.

Status subordinat antara dosen dan mahasiswa kemudian memisahkan mereka dalam setiap pertemuan-pertemuan dimana keintiman dan dialog semestinya terjadi dengan renyah.Prespektif penilaian juga amat material dan tidak bisa dibuktikan dengan nalar. Kampus sesungguhnya hanya tepat untuk orang-orang yang tekun, patuh dan bersedia menerima apa kata aturan. Jika kita bukan orang seperti itu, maka kampus akan mengucilkan kita tanpa kompromi. Kadang-kadang karena dianggap orang yang tidak berdisiplin atau tak bermoral. Ironi!

Tapi, itulah kenyataan di ruang akademik yang konon dibangun dari dialektika berpikir dan kreativitas. Dosen yang amat bermasalah memadati ruang-ruang kelas dimana para mahasiswa sedang dalam proses produksi. Logika sungguh tidak bekerja dengan baik, inilah irasionalitas dunia pendidikan kita hari ini. Sayangnya tidak banyak orang yang kemudian melihat betapa sakitnya ruang kampus dan dengan begitu maka betapa pentingnya kita melakukan kritik besar atas nama nalar.

Kapan kita mulai? Persma seharusnya lebih banyak bekerja untuk memperjuangkan bangkitnya kembali kesadaran intelektual masyarakat kampus.


Persma dan Beberapa Perihal
Saya pun mulai tidak yakin Persma masih dibaca masyarakat kampus!

Jika saja masih dibaca maka setidaknya dibaca oleh dua komunitas; pembaca yang iseng dan memposisikan Persma sebagai media publik dimana berita-berita pemikat selera hati bisa ditemukan. Pembaca kedua adalah orang-orang yang jenuh dengan muatan-muatan penulisan yang sangat tidak menarik untuk menemani sebuah ruang diskusi.

Lembaran-lembarannya pun akhirnya lebih banyak dipakai sebagai alas duduk di pojok-pojok ruang kampus. Kadang-kadang dipandangi begitu saja lalu menjadi sampah tanpa pernah dibaca detail. Puas!

Suatu hari saya betul-betul merasa sebagai pembaca kedua, sebuah tabloid kampus edisi terbaru yang saya temukan di rumah teman. Saya membukanya sebegitu cepat, di halaman akhir terdapat rubrik profil seorang mahasiswa (saya lupa namanya). Mahasiswa tersebut rupanya seorang yang menyelesaikan kuliahnya tiga setengah tahun, semasa kuliah pernah satu dua kali berorganisasi dan bergabung di sebuah MLM. Sebuah foto terseyum membuat saya amat tidak tertarik melihatnya, setelah membaca detail profil tersebut tak sempat saya menemukan hal-hal tertentu yang mungkin bisa membuat saya terkesima. Saya berkesimpulan bahwa profil ini dimuat tidak lebih untuk mempublikasikan kehebatan mahasiswa tersebut karena cepat selesai. Dan seolah-olah mengatakan pada pembaca “itulah alumni kampus yang baik.”

Tabloid tersebut sungguh telah melukai eksistensi ruang kampus. Saya tidak menyangka insan pers kampus juga terjebak dengan paradigma materialis dan juga terjebak memahami definisi kecerdasan. Mengapa bukan beberapa mantan aktivis yang pernah melakukan riset dan penelitian skripsi dengan ide-ide orisinil dan konstruktif dibicarakan? Tabloid itu pun terpaksa saya jadikan pembungkus sampah setelah sempat kubawa sampai di rumahku.
Pemberitaan yang dilakukan Persma juga tidak lebih sama dengan konstruksi pemberitaan media publik. Bahkan saya beberapa kali menemukan terbitan yang seluruhnya adalah berita dan laporan kegiatan yang sesungguhnya semua mahasiswa tahu peristiwanya. Apa pentingnya hal tersebut di tuliskan bagi masyarakat kampus?

Berita-berita pun hanya menjadi klise dari sebuah peristiwa, reportase dari sebuah ruang yang sempit bernama kampus. Sungguh ini tidak subtansial.


Epilog
Akhirnya Persma kehilangan pembaca. Maka juga kehilangan pamor apalagi membicarakan kontribusinya terhadap berbagai persoalan. Persma harus segera berbenah tidak hanya dalam melakukan konstruksi baru pada bangunan idealisme tapi juga pada paradigma jusrnalistik yang mungkin selama ini sangat tidak tepat untuk sebuah medan bernama kampus.

Kita merindukan terbitan-terbitan yang bisa menemani kita dalam menemukan energi berpikir dalam memecahkan sejumlah kegamangan tentang realitas bangsa ini, termasuk realitas ruang pendidikan yang amat tersesat.

Itu jika Persma tidak ingin kehilangan pembaca!


(penulis adalah penulis lepas dan penikmat satra)

Minggu, 03 Februari 2008

artikel

HISTORIS HMI
(Perlukah ?)


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang diprakarsai berdirinya oleh Lafran Pane (1922-1991) beserta empat belas pendiri lainnya di Yogyakarta 14 Rabiul awal 1366 - 5 Februari 1947. Merupakan peristiwa yang sudah lama terjadi, lebih dari setengah abad. Jika kita berbicara tentang sejarah, maka sengaja atau tidak akan timbul pertanyaan dalam benak kita. Mungkinkah kita mengetahui masa lalu? Sebuah bentuk ketidakyakinan kita terhadap sejarah atau yang disebut dengan skeptisisme historis. Hal ini timbul karena kesangsian dan keraguan terhadap masa lalu, apakah memang ada (F.R. Anskermit, refleksi tentang sejarah pendapat modern tentang filsafat sejarah, 1987) hal itu wajar karena kita tidak mengalami peristiwa secara langsung. Kita hanya mendengar cerita yang seringkali mengatakan,"katanya ……..,"atau "dulu, jaman saya……..", dan kata-kata lain yang kerap kali membuat kita berdecak kagum atas kehebatan atau kepiawaian tokoh-tokoh dalam cerita itu. Demikian halnya dengan decak kagum anggota terhadap tokoh-tokoh (alumni) HMI atau terharu dngan tokoh HMI yang menjadi buronan PKI atau keberhasilan alumni menjadi menteri, pejabat, politisi atau yang lain.
Selain timbul kesangsian cerita, disisi lain timbul motivasi dalam diri kita untuk menjadi seperti tokoh -tokoh yang diceritakan. Dengan kata lain kader HMI pun sebenarnya merasa bangga dengan keberadaan HMI kal itu. Karenanya ia berbangga pula atas pilihannya menjadi anggota HMI atau masuk HMI karena ‘dipaksa’ sekalipun. Rasa bangga (proud) anggota HMI pada kehebatan tokoh-tokohnya sama halnya dengan anak kecil yang bangga pada superman, Batman, Robocop dan lain-lain. Perbedaannya, anggota HMI masih mampu untuk menyadari bahwa keberhasilan tokoh-tokoh HMI adalah karena dirinya sendiri, bukan karena HMI. HMI hanya sebagai sarana atau alat untuk belajar saja.
Bagi HMI sendiri adalah wajar atau mungkin pula sudah seharusnya sejak berdiri hingga sekarang ini, HMI telah mendaulat dirinya sebagai organisasi kader, yaitu organisasi yang mengkhususkan diri dalam membentuk kader yang memiliki komitmen keumatan (keislaman) dan kebangsaan. Sebagai representasi dari kaum, intelektual muda yang masih minim jumlahnya waktu itu, peransertanya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan sangat dibutuhkan, baik bagi bangsa maupun masyarakat indonesia. Sehingga pendirian HMI sebagai organisasi kemahasiswaan pertama, banyak mengundang minat mahasiswa islam khususnya di indonesia. Selain itu, hebatnya tantangan eksternal organisasi ketika itu berdampak pada salah satunya adalah bertambahnya anggota.
Kisah-kisah sukses HMI pada masa-masa kritis di zaman Orde Lama telah menaikan ‘harga" politik dikalangan mahasiswa. HMI saat ini adalah eksponen penting dalam poros umat islam untuk menantang agitasi kaum komunis. Peran dan posisi yang dipilih HMI saat itu berimplikasi pada tingginya antusiasme mahasiswa untuk memilih HMI sebagai wadah pembinaan diri. Sekaliini adalah cerita seperti dipaparkan diatas.
Semua paparan diatas adalah cerita HMI dimasa lalu yang pernah didengar oleh mahasiswa atau yang sering didengar oleh anggota HMI. Namun semua cerita-cerita masalalu adalah tinggal cerita saja. HMI tidak akan menjadi besar kalau anggotanya hanya menjadi penikmatkeberhasilan dan kebesaran masa lalu. Jika terjadi seperti itu, maka anggota HMI hanya akan menjadi penghayal dan tentunya sudah menyimpang dari cita-cita dan fungsi HMI sebagai organisasi kader. Oleh karena itu yang menjadi kajian bagi anggota HMI, bukanlah masa-masa lalu yang kadang membuat anggota HMI terlena, karena kita tidak mungkin kembali kepada masa lalu. Seharusnya yang menjadi bahan kajian bagi kader-kader HMI tentang sejarah adalah masa sekarang dan masa yang akan datang. Dengan demikian studi tentang HMI memuat tiga perputaran jaman yang berbeda, yaitu masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Memaparkan cerita atau sejarah masa lalu, seharusnya tidak semata-mata bernostalgia dengan romantisme sejarah yang penuh kehebatan, keemasan dan sikap puas diri.menelliti secara obyektif dan kritis masa lampau baik kesuksesan maupun berupa kesalahan, sekalipun kegagalan, untuk memperoleh ikhtiar sehingga dapat meneruskan dan mengembangkan pemikiran dan karya-karya yang pernah diraih, dan tidak mengulang kesalahan yang sama dan diorientasikan kedepan adalah tugas penting terhadap kajian masa lalu.
Kalian terhadap masa sekarang, dengan mencoba membandingkan kondisi sekarang dengan kondisi masa lalu, karena walau bagaimanapun kondisi masa lalu dan sekarang adalah sangat berbeda. Makla cerita kesuksesan dan kehebatan masa lalu jika diulang dengan cara yang sama pada masa sekarang ini, boleh jadi tidak akan sehebat dulu atau bahkan menjadi lebih buruk.
Sedangkan kajian untuk masa yang akan datang, denagn mengamati kondisi sekarang kemudian membandingkan dengan masa lalu, agar dapat menetapkan bagaimana HMI seharusnya. Semua ini berlaku pada HMI secara umum baik di PB, Cabang maupun komisariat.
Dari semua yang dipaparkan, mungkin satu hal yang akan tetap manjadi cita-cita bagi HMI, yaitu HMI akan selalu menjadi organisasi kader. Beberapa hal yang harus dipertahankan jika ingin tetap disebut sebagai organisasi kader, Ahmad Wahid, dalam bukunya ‘pergolakan pemikiran Islam’, terbitan LP3ES merumuskan 14 metode yang wajib dijalankan sebuah lembaga pengkaderan, salah satunya dan yang terpenting adalah ‘mendidik anggota yang sadar bukan penurut. Harus diakui perkaderan sekarang masih cenderung menghasilkan manusia-manusia yang tidak berkepribadian, dan kebanyakan kurang sadar akan apa yang sesungguhnya menjadi arah dari gerak organisasi. Pemimpin-pemimpin HMI lebih senang kalau dia bisa menjadi pemimpin dri orang-orang "mati". Mereka enggan atau gerah menjadi pemimpin dari manusia-manusia hidup yang suka melancarkan kritik’.
Gambaran diatas kiranya dapat menjadi sebuah bahan diskursus bagi kader-kader HMI yang peduli akan masa depan HMI. Karena aktifitas pngkaderan HMI dimulai dari dan lebih banyak berpusat di komisariat, jadi intensitas komisariat untuk bersentuhan langsung dengan anggota sangat tinggi, maka sudah sepatutnya diskursus ini dapat dimulai dari Komisariat. Di Komisariat hendaknya mulai diciptakan kultur diskusi dan dialog sebagai salah satu bentuk proses perkaderan tentang ke HMI-an.
Dialog dan diskusi ini tidak hanya dalam situasi formal sehingga terkesan sebagai suatu formalitas belaka, akan tetapi dalam situasi informal hendaknya mulai dikondisikan. Karena Komisariat merupakan tempat kader memulai prosesnya, maka menjadi tanggung jawab komisariat pula untuk menunjukkan bagaimana HMI seharusnya. Kader HMI yang seharusnya adalah kader HMI yang paripurna, bukan lagi kader HMI yang berbicara "memenangkan pemilu dikampus adalah dengan cara memperoleh suara terbanyak, oleh karena itu anggota HMI harus banyak dan siapapun boleh masuk dan tidak ada kualifiasi yang jelas", atau "mewarnai kehidupan kampus dengan menempatkan kader-kader HMI di intra kampus sebanyak-banyknya, tapi kalau kalah tidak lagi berperan sebagai fungsionaris intra kampus".
Persolan diatas hendaknya tidak lagi menjadi orientasi kader HMI. Karena sudah banyak kasus tentang kader-kader yang menjadi fungsionaris intra tidak berperan sebagai mana mestinya, atau kasus the wrong man on the right place. Tentunya kita tidak menginginkan hal itu terjadi terus-menerus di HMI. Tetapi bagaimana kader HMI mampu menjadi pemimpin bagi semua golongan, baik dikelompok mahasiswa maupun masyarakat. Inilah yang seharusnya menjadi bahan diskursus bagi HMI, demi masa depan HMI, bukannya selalu membangga-bangkan zaman keemasan masa lalu HMI tapi hanya mampu menjadi penghayal. Tokoh-tokoh HMI pada masa lalu adalah anak emas sejarah sekarang dan kader-kader HMI masa kini adalah anak emas sejarah di masa yang akan datang. Nah, mampukah kita sekarang ini membuat sejarah ? tentunya masing-masing kita dapat meranungkan dan menjawab persoalan itu.[]

Senin, 28 Januari 2008

tips

Menulis Feature Di Dunia Venus


Tulisan yang bagus biasanya bernada seperti mengobrol. Tentu saja, untuk beberapa topik, gaya yang lebih formal pasti lebih sesuai--tetapi jangan salah menganggap bahwa bersikap serius itu sama dengan bersikap membosankan.(COLINROSE)


"Bumi kini telah menjadi Venus," kata pakar marketing, Hermawan Kartajaya, dalam karyanya yang menerobos, Marketing in Venus. "Dunia Venus adalah dunia yang lebih emosional dan interaktif. Di dunia itu, EQ lebih unggul ketimbang IQ atau--dalam bahasa yang lain--feel lebih penting dari think." Oleh sebab itu, lanjut Hermawan, "Untuk memenangkan persaingan di Venus, Anda harus lebih banyak bermain di context (how to offer). Content--what to offer--yang bagus adalah suatu keharusan. Namun, content yang bagus tidaklah cukup. Content hanyalah 'tiket' untuk masuk ke arena persaingan, bukan untuk memenangkan persaingan. Context-lah 'tiket' Anda untuk memenangkan persaingan di Venus."

Saya berpendapat dari sejak dahulu, apa yang dirumuskan sebagai jenis tulisan yang dapat dikategorikan sebagai feature (karangan khas) tidaklah berubah. Merujuk ke pandangan Hermawan, content yang dikandung feature adalah tetap. Menurut Drs. Andi Baso Mappatoto, M.A.--pernah menjabat Ketua Dewan Direktur Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA)--dalam bukunya, Teknik Penulisan Feature (Karangan Khas), arti kata feature adalah "karangan lengkap nonfiksi bukan berita-lempang (straight news) dalam media massa yang tak tentu panjangnya, dipaparkan secara hidup sebagai pengungkapan daya kreativitas yang kadang-kadang menggunakan sentuhan subjektivitas pengarang terhadap peristiwa, situasi, aspek kehidupan dengan tekanan pada daya pikat manusiawi untuk mencapai tujuan memberitahu, menghibur, mendidik, dan meyakinkan pembaca".

Dalam kesempatan ini, saya tidak akan membahas content (what atau apanya) tulisan yang dapat digolongkan sebagai feature. Saya akan lebih menekankan pembahasan pada context (how atau cara), yaitu bagaimana seorang penulis dapat menciptakan feature yang menarik dan sesuai perkembangan zaman. Dalam bahasa Hermawan, saya ingin mengajak siapa saja untuk menulis feature yang dapat dinikmati masyarakat Venus dan tulisan tersebut benar-benar dapat "memenangkan" persaingan dalam merebut hati sebagian besar pembaca. "Memenangkan" di sini saya artikan sebagai sebuah kesuksesan yang dicapai sebuah tulisan feature dalam menginspirasi atau--dalam bahasa saya--menyentuh dan kemudian mampu "menggerakkan" pikiran pembacanya.

Untuk keperluan tersebut, saya menggunakan empat tulisan sebagai sumber rujukan dalam membahas context tulisan feature yang cocok untuk masyarakat Venus--sebuah masyarakat yang lebih menekankan sisi emosional ketimbang rasional. Keempat tulisan itu adalah, pertama, karya Ignas Kleden, "Esai: Godaan Subjektivitas"; kedua, karya Agus R. Sarjono, “Sebuah Bukan Esai tentang Esai� (kedua tulisan ini dimuat di majalah sastra Horison, edisi Januari 2004); ketiga, karya Mula Harahap, "Tentang Esai-Esai Pribadi" (saya peroleh dari sebuah milis di internet); dan keempat, karya Farid Gaban, "Kolom: Esai dengan Gaya" (pernah disampaikan di depan para editor Penerbit Mizan).


Feature yang Berbasiskan Esai?
Tentu saja
feature bukan esai, atau esai bukanlah feature. Kata Ignas Kleden, esai lahir karena keinginan berkata-kata, semacam obrolan dalam bentuk tulisan. Kalau obrolan adalah bentuk penuturan lisan, maka esai adalah perwujudannya dalam bentuk tulisan. "Sebuah esai, karena itu," tulis Ignas, "menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, dan daya tarik itu muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana.

"Apabila kita membaca esai Putu Wijaya, 'Meditasi di Madison', maka yang menarik di sana bukanlah lukisan pengarang tentang suasana di sebuah universitas Amerika tempat dia tinggal dan bekerja selama beberapa bulan. Yang membuat kita tercekam adalah cerita pengarang tentang dirinya sendiri. Kita turut merasakan betapa dia gugup melatih para mahasiswa Amerika agar dapat memainkan sebuah teaternya berjudul 'Gerr'. Betapa pula dia kesulitan dan cemas--dengan bahasa Inggris yang masih terbatas--menjelaskan konsep teaternya dan berusaha melepaskan para mahasiswanya dari konsep teater barat, sebagaimana yang mereka pelajari dari kuliah dan latihan yang mereka peroleh sebelumnya."

Subjektivitas dalam mengutarakan gagasan adalah hal yang memberikan watak khas pada esai. "Apabila subjektivitas itu dikontrol dan ditekan sampai minimal, maka yang kita dapati adalah tulisan ilmiah. Seperti kita tahu, ilmu pengetahuan menuntut lukisan dan uraian dapat diusahakan sedekat mungkin dengan keadaan suatu objek yang diteliti atau yang sedang diamati, Subjektivitas yang terlalu banyak dianggap mengganggu dan merendahkan mutu sebuah tulisan. Esai, sebaliknya dari itu, justru menghidupkan subjektivitas," tulisan Ignas menegaskan.

Ada banyak jenis tulisan yang bagus di media massa, namun tulisan itu jarang dibaca oleh para pembacanya. Mengapa? "Hal ini karena banyak tulisan dalam rubrik opini, misalnya, yang memiliki kecenderungan bernada kering, tidak 'berjiwa'. Para penulis, lagi-lagi, kadang-kadang punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat dingin: objektif, berjarak, anti-humor, dan tanpa bumbu," tulis Farid Gaban. "Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir 'semua orang'. Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman, dan tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan."

Bagaimana agar sebuah tulisan dapat menarik perhatian, renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu)? "Kreativitas," jawab Farid Gaban pendek. Kreativitas? Ya. "Dalam era kebebasan seperti sekarang ini, seorang penulis dituntut memiliki kreativitas yang lebih tinggi untuk memikat para pembaca. Para pembaca, dewasa ini, memiliki demikian banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak hanya bersaing dengan tulisan lain di koran atau majalah lain, tetapi juga bersaing dengan berbagai kesibukan yang menyita waktu para pembaca: pekerjaan di kantor, menonton televisi, mendengar musik di radio, berselancar di internet, mengasuh anak, dan sebagainya."

Farid kemudian mengenalkan satu "genre" baru penulisan esai yang disebutnya sebagai "creative nonfiction", atau nonfiksi yang ditulis secara kreatif. "Dalam 'creative nonfiction', penulis esai mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti-klimaks, serta ironi) ke dalam nonfiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang kering dan berlagak objektif, 'creative nonfiction' juga memungkinkan penulis lebih menonjolkan subjektivitas serta keterlibatan terhadap tema yang ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subjektivitas lebih banyak, esai seperti ini juga umumnya menawarkan kekhasan gaya ('style') serta personalitas si penulis," demikian tulis Farid Gaban.

Langkah-Langkah menuju Penulisan
Feature yang "Menggugah"
Seperti tergambarkan dalam penjelasan Ignas dan Farid tentang bentuk tulisan esai di atas,
feature dapat ditulis secara lebih "menggugah" apabila si penulis dapat melakukan pergerakan secara tepat dari tulisan yang bersifat subjektif menuju tulisan yang bersifat objektif. Dalam bahasa akademis, feature yang "menggugah" adalah feature yang berada di antara tulisan yang benar-benar bebas dan tulisan yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Atau, mengikuti rumusan Edward de Bono, tulisan tersebut dapat dipenuhi dengan cara bergerak dari pemikiran vertikal menuju pemikiran lateral. Berikut ini usulan tiga langkah saya untuk menjadikan diri Anda sebagai penulis feature yang andal.

Pertama, ketika Anda ingin mengawali kegiatan menulis esai, cobalah menggunakan metode "mind mapping" (pemetaan pikiran). Metode ini, setidaknya, akan mendukung Anda dalam membuat jaringan fakta (bahan yang hendak diungkapkan dalam bentuk feature) secara detail dan terkuasai secara total. Apabila "peta pikiran" dapat dibuat, si penulis feature dapat memiliki keyakinan tinggi bahwa bahan-bahan yang dikumpulkan memang hampir mendekati lengkap dan tidak ada yang tertinggal. Dan untuk mengecek apakah bahan-bahan yang sudah dikumpulkan itu memang sangat lengkap (dan kemudian dapat benar-benar dikuasai), penggunaan metode "mind mapping" (Tony Buzan) atau "clustering" (Gabriele Rico) dapat sangat membantu.

Kedua, diri si penulis (terutama pengalaman yang sudah dimiliki si penulis) benar-benar connect dengan bahan-bahan yang telah dikumpulkan. Apabila ini dapat dilakukan, maka tulisan feature akan unik. Kata Viki King, "Anda sedang menulis feature yang tidak mungkin ditulis oleh orang lain. Sebuah kisah yang berkobar di dalam diri Anda adalah feature yang 'komersial'. Anda tidak menjadi penulis kelas dua di bawah siapa pun. Anda menjadi yang terbaik bagi diri Anda sendiri. Anda memiliki satu hal yang layak jual sebagai seorang penulis--sudut pandang Anda. Sudut pandang Anda adalah sebuah cara unik untuk melihat dunia berdasarkan seluruh pengalaman Anda dan bagaimana Anda merasakan dunia di seputar Anda."

Ketiga, awalilah menulis feature dengan memanfaatkan otak kanan. Menurut Roger Sperry, pemenang hadiah Nobel bidang kedokteran yang menemukan dua belahan otak, setiap orang punya otak kiri dan otak kanan yang berfungsi secara berbeda. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, urut, dan rasional. Belahan ini sangat teratur. Sementara itu, proses berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi. Dengan menggunakan otak kanan lebih dahulu, berarti bahan yang akan dialirkan menjadi lebih terbuka, bebas, dan tidak kaku. Baru setelah semua bahan dikeluarkan oleh otak kanan, gunakan otak kiri untuk menatanya.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan mampu "menggerakkan" pikiran Anda.[]

comment