"Plato tidak akan datang pada kita, jika saja tidak ada orang yang dengan ikhlas menggoreskan penanya pada ruas-ruas sejarah"

Senin, 17 Maret 2008

artikel

Pers Mahasiswa Tanpa Pembaca
Oleh: Anis K. Al-Asyari

Sebuah masa lalu yang renyah tentang Pers Mahasiswa (Persma) tak cukup untuk dilukiskan dalam sebuah tulisan singkat seperti ini. Menjelang reformasi 1998 kontribusi Persma sedikitnya telah mendorong bangkitnya kesadaran baru bagi mahasiswa: spirit perlawananan atas tirani.

Persma tidak hanya menjadi ruang kreatif untuk berimajinasi tapi juga untuk sebuah medan lahirnya dialektika berpikir serta mimpi-mimpi atas sebuah cita-cita peradaban bernama perubahan.

Tapi itulah kenangan manis yang hampir lenyap dalam kenyataan, kini! Banyak hal yang rasanya bergeser dari idelisme Persma dalam hal mewarnai iklim intelektual, gerakan dan mentalitas mahasiswa. Nyaris Persma tidak lebih sama dengan Pers umum yang kita tahu terjebak oleh selera publik—selera pasar—selera modal.


Ketersesatan
Realitas paling memprihatinkan adalah ruang kampus yang kehilangan jati diri dan kebermaknaan. Kampus sudah tidak lebih sama dengan ruang publik lainnya semisal pasar, tempat belanja, stadion sepak bola atau bahkan lokalisasi (prostitusi).

Kejahatan atas nama rasionalitas dan moralitas toh juga subur di ruang kampus justru lebih parah dari apa yang terjadi di ruang lain. Begitu sulitnya kita menemukan ruang kampus dengan populasi yang dihidupkan oleh iklim intelektual dan selera berpikir.

Kini, kampus hanya menjadi pabrik dimana ijazah diproduksi untuk sebuah mimpi-mimpi manis bernama masa depan (setiap individual) yang tidak lain adalah perubahan status sosial. Hampir setiap mahasiswa menghabiskan hari-harinya untuk segera menyelesaikan studi dan dengan begitu bisa bekerja dan hidup layak.

Tanpa berpikir tentang bagaimana keahlian dan kecerdasan yang dimilikinya setiap saat ratusan bahkan ribuan alumni kampus mengandalkan ijazahnya. Jika tidak, ramai-ramai dari mereka terpaksa menganggur dan ironinya mereka tidak bisa melakukan komunikasi yang konstruktif pada masyarakat.
Bagi sebagian besar mahasiswa di kampus-kampus yang kita sering temui hari ini, realitas sosial tidak lebih dari sebuah kodrat alamiah dimana mereka menikmatinya dalam kepasrahan yang indah. Cara pandang yang materialis kemudian menenggelamkan nalar mereka jauh-jauh dari persoalan-persoalan sosial dimana para mahasiswa semestinya membuka mata.
Ruang kampus telah melestarikan budaya materialisme dan individualitas. Bayangkan? Saat-saat tidak menyenangkan di ruang kelas yang sering kita jumpai; dosen yang mengajar dengan cara pandang yang amat keliru menempatkan mahasiswa sebagai komunitas lebih rendah darinya. Mahasiswa dianggap sebagai orang-orang yang tidak memiliki nalar yang baik, karena itu hanya menjadi pendengar yang baik.

Status subordinat antara dosen dan mahasiswa kemudian memisahkan mereka dalam setiap pertemuan-pertemuan dimana keintiman dan dialog semestinya terjadi dengan renyah.Prespektif penilaian juga amat material dan tidak bisa dibuktikan dengan nalar. Kampus sesungguhnya hanya tepat untuk orang-orang yang tekun, patuh dan bersedia menerima apa kata aturan. Jika kita bukan orang seperti itu, maka kampus akan mengucilkan kita tanpa kompromi. Kadang-kadang karena dianggap orang yang tidak berdisiplin atau tak bermoral. Ironi!

Tapi, itulah kenyataan di ruang akademik yang konon dibangun dari dialektika berpikir dan kreativitas. Dosen yang amat bermasalah memadati ruang-ruang kelas dimana para mahasiswa sedang dalam proses produksi. Logika sungguh tidak bekerja dengan baik, inilah irasionalitas dunia pendidikan kita hari ini. Sayangnya tidak banyak orang yang kemudian melihat betapa sakitnya ruang kampus dan dengan begitu maka betapa pentingnya kita melakukan kritik besar atas nama nalar.

Kapan kita mulai? Persma seharusnya lebih banyak bekerja untuk memperjuangkan bangkitnya kembali kesadaran intelektual masyarakat kampus.


Persma dan Beberapa Perihal
Saya pun mulai tidak yakin Persma masih dibaca masyarakat kampus!

Jika saja masih dibaca maka setidaknya dibaca oleh dua komunitas; pembaca yang iseng dan memposisikan Persma sebagai media publik dimana berita-berita pemikat selera hati bisa ditemukan. Pembaca kedua adalah orang-orang yang jenuh dengan muatan-muatan penulisan yang sangat tidak menarik untuk menemani sebuah ruang diskusi.

Lembaran-lembarannya pun akhirnya lebih banyak dipakai sebagai alas duduk di pojok-pojok ruang kampus. Kadang-kadang dipandangi begitu saja lalu menjadi sampah tanpa pernah dibaca detail. Puas!

Suatu hari saya betul-betul merasa sebagai pembaca kedua, sebuah tabloid kampus edisi terbaru yang saya temukan di rumah teman. Saya membukanya sebegitu cepat, di halaman akhir terdapat rubrik profil seorang mahasiswa (saya lupa namanya). Mahasiswa tersebut rupanya seorang yang menyelesaikan kuliahnya tiga setengah tahun, semasa kuliah pernah satu dua kali berorganisasi dan bergabung di sebuah MLM. Sebuah foto terseyum membuat saya amat tidak tertarik melihatnya, setelah membaca detail profil tersebut tak sempat saya menemukan hal-hal tertentu yang mungkin bisa membuat saya terkesima. Saya berkesimpulan bahwa profil ini dimuat tidak lebih untuk mempublikasikan kehebatan mahasiswa tersebut karena cepat selesai. Dan seolah-olah mengatakan pada pembaca “itulah alumni kampus yang baik.”

Tabloid tersebut sungguh telah melukai eksistensi ruang kampus. Saya tidak menyangka insan pers kampus juga terjebak dengan paradigma materialis dan juga terjebak memahami definisi kecerdasan. Mengapa bukan beberapa mantan aktivis yang pernah melakukan riset dan penelitian skripsi dengan ide-ide orisinil dan konstruktif dibicarakan? Tabloid itu pun terpaksa saya jadikan pembungkus sampah setelah sempat kubawa sampai di rumahku.
Pemberitaan yang dilakukan Persma juga tidak lebih sama dengan konstruksi pemberitaan media publik. Bahkan saya beberapa kali menemukan terbitan yang seluruhnya adalah berita dan laporan kegiatan yang sesungguhnya semua mahasiswa tahu peristiwanya. Apa pentingnya hal tersebut di tuliskan bagi masyarakat kampus?

Berita-berita pun hanya menjadi klise dari sebuah peristiwa, reportase dari sebuah ruang yang sempit bernama kampus. Sungguh ini tidak subtansial.


Epilog
Akhirnya Persma kehilangan pembaca. Maka juga kehilangan pamor apalagi membicarakan kontribusinya terhadap berbagai persoalan. Persma harus segera berbenah tidak hanya dalam melakukan konstruksi baru pada bangunan idealisme tapi juga pada paradigma jusrnalistik yang mungkin selama ini sangat tidak tepat untuk sebuah medan bernama kampus.

Kita merindukan terbitan-terbitan yang bisa menemani kita dalam menemukan energi berpikir dalam memecahkan sejumlah kegamangan tentang realitas bangsa ini, termasuk realitas ruang pendidikan yang amat tersesat.

Itu jika Persma tidak ingin kehilangan pembaca!


(penulis adalah penulis lepas dan penikmat satra)

Tidak ada komentar:

comment